|
A
|
“Karen...” seseorang menepuk pundakku dari belakang, aku
tersentak kaget.
“hah!” teriakku lirih.
“ah! Mama ngagetin aja sih.” Gerutuku.
Mama pun menyandingku duduk dan ia melihatku lekat.
“mama kenapa sih? Kok ngeliatin aku kayak gitu?” tanyaku.
“karenaaa... kamu cantik.” Canda mama.
“aaah mama.. aku itu emang cantik.” Candaku balik.
“iih... PD banget ya sekarang.” Ledek mama.
“ahahahaha...” kami tertawa.
Seketika tawa itu berhenti dan hening beberapa saat. Aku
yang tak ingin keheningan ini berlama-lama segera saja kupecahkan.
“Ma!” ucapku.
“ya?” mama menoleh.
“gak jadi deh.” Aku membatalkan pembicaraanku.
“kenapa? Cerita ayo!” mama memaksa.
“nggak maah... nanti aja kalo Karen udah bener-bener siap
ngomongnya ke mama.” Kataku, mama hanya mengangguk.
Malam semakin larut, mama menyuruhku untuk masuk ke dalam
kamar.
Hari
ini aku berangkat sekolah seperti biasa menunggangi kereta kudaku yaitu sepeda
dan kudanya aku. Haha! Akusangat menikmati pagi hari ini, karena udara masih
sangat segar sekali.
Sampai di sekolah, aku memarkirkan sepedaku dan segera masuk
ke kelas. Tetapi, tiba-tiba mobil yang masuk dengan ajaib dari gerbang sekolah
hampir menabrakku.
“Hoy!” teriak pemilik mobil sport warna hitam itu.
Aku ketakutan.
Orang itu keluar dan menghampiriku.
“punya mata gak sih lo? Lo mau mati disini?” kata-katanya
begitu kasar.
“iya iya maaf. Aku gak sengaja soalnya disini gak ada murid
bawa mobil jadi aku tidak mengerti. Apakah kamu anak baru? Apakah kamu belum
tahu jika murid tidak boleh membawa mobil ke sekolah?” ucapku.
“heh! Denger ya anak cupu, lo ya lo, gue ya gue. Urusin aja
hidup lo sendiri!” katanya lalu segera kembali masuk mobil dan meninggalkanku.
Aku berjalan di koridor sekolah, ada segerombol cewek-cewek
yang ramai. Aku penasaran langsung saja aku menghampiri mereka.
Aku melongok-longok, ternyata yang dikerumuni anak-anak
cewek itu adalah cowok yang tadi hampir menabrakku di halaman sekolah.
“hah? Cowok itu?” batinku sambil mengerutkan dahi. Aku
segera berpaling dari situ.
Tiba di kelas, aku langsung duduk di sebelah teman
sebangkuku sekaligus sahabatku yaitu Monica yang biasa kupanggil dengan momo.
“hey! Kenapa sih, Ren? Pagi-pagi udah nyengkerut aja tuh
muka.” Sindirnya.
“gue kesel!” jawabku judas.
“kesel kenapa?”
“tadi ketemu cowok super nyebelin tau gak? Gue hampir
ditabrak dan dia yang marah-marah. Dan tadi pas di koridor gue liat dia
dikerumunin sama anak-anak cewek. Iuhhh... ilfeel banget gue.” Jawabku.
“hah? Masa? Anak baru?” tanya momo.
“kali. Gue juga gak tahu.”
Kelas pun dimulai, bu Retno menyapa semua murid.
“anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru.” Kata bu
Retno. Semua sibuk berbincang-bincang dengan teman sebangkunya kecuali yang
cowok.
Sosok anak baru itu masuk kelas dengan gayanya yang
kekinian. Aku mengamatinya dari bawah hingga atas.
“hah?” alisku mengangkat.
Ternyata dugaanku benar, dia adalah anak baru. Mungkin dari
kota.
“perkenalkan nama saya Steven, pindahan dari Jakarta.”
Ucapnya.
Ia lalu dipersilahkan duduk oleh bu Retno. Ia duduk tepat
dibelakangku. Aku sama sekali tak menyapanya bahkan menatapnya sekalipun.
“hai Stev, gue Monica. Salam kenal ya..” Momo sok basa-basi.
Steven hanya membalasnya dengan tersenyum.
Kelaspun berakhir, aku masih membereskan buku-buku yang ada
di bangku.
“eh Ren, gue duluan ya? Udah dijemput nih.” Kata Momo.
“oh oke..” jawabku.
Saat aku beranjak dari tempat dudukku tanpa kuketahui Steven
juga lewat disampingku sehingga aku menabraknya. Buku-buku tebal yang kugendong
berjatuhan dilantai.
“Ya ampuuun......! lo punya mata gak sih? Lo lagi lo lagi.
Lo tuh bikin sial tau gak!” bentaknya.
Aku yang merasa benar-benar tertindas dengan perkataannya
itu, langsung angkat bicara.
“HEH! Denger ya, gue itu bukan pembawa sial ! oke emang kali
ini gue yang nabrak lo karena gue gak liat. Tapi cara lo ngomong itu yang baik
kek, jangan asal bentak gitu aja. Emang kalo lo gak sengaja nabrak orang lo mau
dibentak-bentak?” jawabku judas.
Aku segera membereskan buku-buku itu dan segera meninggalkannya.
“woy!” suaranya terdengar samar-samar saat aku pergi dari
kelas.
“dasar cowok gak tau diri!” batinku kesal.
Bulan
telah berganti bulan, ujian akhir semester 1 pun telah didepan mata. Aku
menyambutnya dengan gembira karena libur telah tiba..libur telah tiba...
Tetapi seperti kata pepatah, berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Nah,
aku bakalan menghadapi UAS dengan ekstra belajar habis itu tinggal liburan deh.
Pengennya sih kerumah oma yang ada di puncak. Kangen banget sama suasana hijau.
Aku berjalan sendirian di koridor sekolah, tiba-tiba...
“Hei...” sapa Steven sembari mengikutiku berjalan.
“ngapain lo?” jawabku judas.
“gue...mau minta bantuan lo.” Ucap Steven.
Gue berhenti seketika. Menatapnya beberapa detik.
“lo mau minta bantuan gue?” jawabku kaget.
“iya. Kan bentar lagi UAS, izinin gue buat belajar kelompok
sama lo? Boleh kan? Gue pengen lo jadi
guru gue.” Ucapnya.
“gak gak gak... gak bisa! Emang gue gak butuh belajar apa?
Gue gak mau! Dan sekali lagi gue bukan guru les!” jawabku judas lalu segera
berpaling dari hadapan Steven.
Steven mengejarku,
“plisss, Ren. Gue mohon, ajarin gue. Lo masih bisa belajar, kan dengan lo jadi
guru gue sama aja lo belajar kan? Plis, Ren. Bantu gue? Plis.” Paksa Steven.
Aku iba melihatnya dengan wajah memelas kepadaku. Sebenarnya
aku memang tak tega, tetapi rasa gengsiku mengalahkan semuanya. Tetapi
tiba-tiba hatiku terketuk dan aku menyutujuinya.
“yaudah deh.” Jawabku pasrah.
“yakin lo? Thanks ya. Lo ternyata aslinya baik juga ya?”
ucapnya girang lalu memelukku.
“ehhh...” teriakku.
“sorry..sorry soalnya gue seneng banget.” Ucapnya.
“dasar cowok alay.” Aku segera meninggalkannya.
Seiring
berjalannya waktu, aku menjadi akrab dengan Steven semenjak itu. Aku sering
jalan-jalan bareng Steven, dan hal-hal indah yang telah kita lewati bersama.
Kita menjadi teman, bahkan teman dekat atau bisa dibilang sahabat. Yes,
Sahabat.
Hari ini, aku dan Steven pergi ke mall. Steven berjanji
untuk mentraktirku main di Area Bermain.
Kami bermain basket, disaat aku memasukkan bola ke ring.
Tiba-tiba pandanganku kabur, aku masih mencoba menahannya dan saat Steven
tersenyum kearahku, seketika dia panik melihat kondisiku.
“hidung kamu berdarah??”
“nggak papa kok” pandanganku semakin kabur dan padam.
Aku tersadar di sebuah ruangan yang serba putih.
“mah...” aku memanggilnya saat aku menemukan sosok mama
duduk didekatku dengan isakan tangis.
“Karen.. sayang. Kamu sudah sadar?” tanya mama dengan
khawatir.
“mama kenapa nangis?” tanyaku.
“gapapa sayang, mama Cuma khawatir sama kamu.” Mama
tersenyum lalu menghapus air matanya.
“Steven mana mah?” tanyaku sambil mencari sosok Steven
diruangan ini.
“tadi mama suruh dia pulang.” Kata mama.
Keesokan harinya, aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Aku
harus istirahat total karena keadaanku seperti ini tak memungkinkanku untuk
pergi ke sekolah. Walaupun sebenarnya aku sangat tidak betah jika harus berdiam
diri dikamar seperti ini.
Saat mama masuk ke kamarku untuk memberikanku obat, aku bertanya
kepadanya.
“mah.. kata dokter aku sakit apa?” tanyaku.
“Cuma kecapean aja.”
“ohh... tapi aneh, kok sampai mimisan juga ya?” tanyaku
heran.
“udah..udah diminum obatnya.” Kata mama sambil menyodorkanku
sebuah kapsul.
2 hari sudah aku terkurung di kamarku, tidak pergi ke
sekolah, tidak keluar rumah. Itu sangat membuatku bosan.
“tok..tok.took..” suara ketukan pintu dari luar
menyadarkanku.
“masuk aja..” kataku.
“Kareeen...” sambut Momo histeris. Langsung ia memelukku.
“lo sakit apa? 2 hari gak ada lo rasanya kayak nasi gak ada lauknya tau gak...” Momo alay.
“alay lo, Mo. Baru juga 2 hari, kalo selama-lamanya?”
ketusku.
“lo ngomong apaan sih, Ren? Ngaco deh!” tegur Momo.
“gimana keadaan lo, Ren?” tanya Steven.
“baik. By the way thanks ya lo udah nganterin gue. Kemarin
gue nyari lo, tapi kata mama, lo disuruh mama gue pulang ya?”
“iya. Gue sebenernya pengen jagain lo sampai sadar, tapi gue
gak mau ganggu mama lo, apalagi mama lo nangis-nangis kayak gitu.” Jawab Steven
semberi terkekeh.
“lo besok masuk sekolah kan? Gue kangen sama lo, Reeeen..
besok kan raportan.” Kata Momo.
“oh iya! Iya gue pasti masuk kok besok. Gue pengen lihat
hasil gue secara langsung.”
Malampun tiba, aku sedang menonton TV di ruang keluarga dan
mama menemaniku sembari mengerjakan tugas kantornya.
“mah.. besok aku raportan nih. Aku besok masuk ya?” tanyaku.
“biar mama aja yang ambil sayang. Kamu istirahat dirumah.”
Ujar mama.
“maaah... aku harus liat hasilnya sendiri baru aku bikin
kejutan ke mama, bukan mama yang ngasih kejutan aku.” Jawabku cemberut.
“yaudah yaudah...” jawab mama pasrah.
Kakak berjalan melewati mama dan aku yang sedang
berbincang-bincang.
“Bil... habis darimana kamu?” tanya mama.
“dari rumah temen.” Jawabnya cuek.
“kamu ini tiap hari keluyuran terus kerjaannya. Alasan inilah
itulah.” Tegur mama kepada kak Billy.
“sejak kapan mama peduli sama aku? Bukannya mama selalu
peduli sama Karen? Semenjak ada Karen berubah semuanya. Papa meninggal
gara-gara dia ada kan mah?” kata kak
Billy.
“cukuup!! Jangan nyalahin Karen. Karen itu gak tau apa-apa!”
bela mama
“hari dimana papa meninggal itu saat kelahiran dia!” kata
kak Billy
“sampai kapan sih kakak benci sama aku? Aku tuh pengen
disayang sama kakak, kayak orang-orang lain. Mana pernah sih aku ngerasain
disayang sama kakak?” aku terisak.
“diam lo! Gak usah sok melas didepan gue! Gue gak bakalan
iba sama lo!” kata kak Billy dan langsung meninggalkanku dan mama.
Aku menangis terisak, mama menyadari dan langsung memelukku.
“mah..” aku masih terisak dalam pelukannya. Mama mengelusku.
Hari ini aku masuk sekolah seperti (tidak) biasa karena mama
memaksaku untuk diantarkan. Aku hanya pasrah karena naluri mama lebih kuat.
“ma aku masuk dulu. Bye” ucapku. Mama membalasnya dengan
lambaian tangan.
Saat di kelas, hanya ada Steven duduk diujung sana. Mungkin
berangkatku terlalu pagi.
“hai, Stev. Tumben udah sampe sekolah?” tanyaku sambil
menaruh tas.
“pengen aja.” Jawabnya santai sambil berkutat dengan hpnya.
“oh” jawabku singkat.
Steven tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya dan duduk
disebelahku.
“ehm” Steven berdeham yang membuatku meliriknya aneh.
“Ren..” suaranya pelan.
“hm?” balasku.
“gue takut kalo gue ngomong sama elo, elo bakalan menjauh
sama gue?”
”ngomong apa sih, Stev? Lo kayak baru kenal gue aja deh, mau
ngomong aja jaim. Biasanya lo juga curhat sama gue. Kenapa? Ayo dong cerita..
atau tentang Felicia lagi?”
“bukaan.. ini lebih penting daripada Felisia.” Steven mulai
serius. Aku mengamati gerak bibir yang akan dia lontarkan.
“gue suka sama lo.” Ucapnya tanpa aba-aba.
DugDigDagDigDug! Jantung ini tak henti-hentinya berdebar.
Bagaimana bisa seorang Steven menyukaiku? Sedangkan aku hanyalah wanita lemah
yang tidak bisa apa-apa. Aku terdiam cukup lama sampai Steven menyadarkanku
kembali.
“Ren?”
“lo gak bercanda kan?” tanyaku tak percaya.
“serius. Semenjak kita kenal, emang awalnya gue benci banget
sama lo, tapi yang gue suka dari lo itu bukan ada apanya, gue akui lo pinter,
lo cantik tapi gue suka sama sifat lo. Dengan lo sering maki-maki gue kayak
dulu itu, buat gue intropeksi dimana letak kenakalan gue. Lo itu motivasi buat
gue. Untuk itu gue suka sama lo.” Jelas Steven.
Aku gagu beberapa detik.
“eee.. Stev, sorry gue perlu waktu untuk itu. Gue gak bisa
langsung jawab karena semua butuh proses. Gue pengen lo nunggu gue, kalo lo
bener-bener sayang sama gue, gue yakin gue akan menjawabnya.” Terangku.
“oke gapapa kok, Ren. Tapi kita masih sahabat kan untuk
sekarang?”
“mau lo?” candaku.
“yaiyalah”
Tawa menghiasi kesedihan barusan.
Jika dibilang suka, aku memang mempunyai perasaan yang sama.
Persahabatan seorang laki-laki dan perempuan tak bisa dipungkiri kalo nantinya
akan saling menyukai satu sama lain. Tetapi, alasanku belum menerimanya adalah,
aku masih ingin bersahabat dengan Steven, karena jika kita bersahabat, kita
masih bisa menikmati semuanya, karena dimana-mana pacaran itu beda rasanya
dengan sahabat. Jika pacaran? Sayangpun akan luntur seiring berjalannya waktu,
sedangkan sahabat? Sayang gak akan bisa luntur walaupun badai menopangnya.
Pengumuman telah tiba, semua
siswa dikumpulkan di aula sekolah untuk mengetahui siapa siswa berprestasi di
sekolah ini. Aku tak mengharap lebih, hanya jika saja aku tak mendapatkannya
tak masalah bagiku.
Kepalaku sangat pusing saat beranjak dari tempat dudukku.
“Karen, anak-anak udah pada berangkat ke aula tuh. Yuk, ntar
keburu terlambat.” Ajak Momo.
“iya” jawabku sangat lirih.
Saat aku berdiri, rasanya tak kuasa lagi. Pandanganku kabur
dan bruuk!!!
Saat itu aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi padaku.
@Aula Sekolah
“hallooo semuanya siswa-siswi SMA BHAKTI HARAPAN..” teriak
salah satu ibu guru yang menjadi MC pada saat itu.
“inilah yang ditunggu-tunggu, pengumuman siswa berprestasi
tahun ajaran 2014/2015. Tapi... sebelum itu biar agak tegang nih, kita sambuuut
band SMK BHAKTI HARAPAN... The Maroon..!!!” tepuk tangan menghiasi aula
tersebut.
Setelah The Maroon selesai menunjukkan penampilannya,
suasana dibuat tegang lagi saat bu guru menyampaikan bahwa akan diumumkan.
“dan... siswa berprestasi SMK BHAKTI HARAPAN adalahhh.....
KARENINA PUTRI...”
Tepuk tangan meriah saat namaku disebut...
“untuk Karenina, silahkan naik ke atas panggung untuk
menerima piala dan sertifikat penghargaan.”
Semua orang mencariku melihat ke belakang saat namaku
dipanggil tetapi aku tak kunjung datang.
Tiba-tiba, Momo naik ke atas panggung dengan air mata
berderai dipipinya.
“teman-teman, maaf Karenina tidak bisa hadir ditengah-tengah
kalian saat ini. Mungkin jika ia mendengar bahwa dia mendapatkan penghargaan
ini dia akan senang sekali, karena itu yang Karenina mimpikan. Ada sepotong
kata-kata dari secarik kertas ini, aku menemukannya saat jatuh di dekat
bangkunya.”
“Terimakasih semuanya, bapak dan ibu guru yang setia
membimbing belajar, teman-teman yang selalu support aku, dan tak lupa juga
dukungan orang tua kepadaku. Ini adalah suatu penghargaan yang tak akan saya
lupakan. Saya merasa bangga dengan diri saya, saya berharap prestasi saya juga
tidak berhenti disini. Semoga tahun depan juga ada yang menggantikan posisi
saya berdiri disini. Terimakasih.”
Momo tak kuasa menahan air matanya.
“teman-teman, saat ini Karenina sedang menjalani pemeriksaan
di Rumah Sakit. Dia terkena kanker otak stadium akhir. Keadaannya sangat
kritis. Kita do’akan saja semoga ia segera sembuh. Saya minta do’a dari
teman-teman semuanya.”
Momo langsung meninggalkan podium dan berlari.
Aku berada di sebuah tempat yang asing bagiku, tempat ini
berwujud rumah seperti pondok yang serba putih, bahkan taman yang menyerupai
kebun di halaman rumahpun berwarna putih semua. Aku dikejutkan dengan seseorang
yang menepuk pundakku. Aku sentak menoleh dan orang itu tersenyum padaku.
“Papa? Apakah ini benar-benar papa?” aku terkejut. Ia
mengangguk sambil tersenyum dan mengelus rambutku.
“papa...” aku langsung memeluknya.
“sejak aku lahir aku belum pernah melihat wajah papa secara
langsung. Akhirnya sekarang Karen bisa memeluk papa. Papa kemana aja sih? Papa
jahat ninggalin Karen.”
“papa nggak kemana-mana kok, sayang.” Ia mengelus rambutku.
“aku pengen ikut papa. Aku nggak pengen jauh dari papa
lagi.”
“tapi bagaimana dengan mamamu?”
“mama pasti ngerti kok, Pa. Yang penting Karen bisa
sama-sama papa.”
“boleh. Tapi sebaiknya kamu pamit dulu sama mama dan
kakakmu. Nanti mereka mencarimu.” Kata papa.
“iya udah deh, Pa. Tunggu Karen ya..” ucapku.
Aku pergi meninggalkan papa.
“tangan Karen gerak, mah!” seru kak Billy. Mama langsung
menghampiri ranjangku.
Perlahan aku membuka mata, dan yang membuatku kaget semua
orang yang tak asing bagiku sedang bergerumbul di samping ranjangku.
Aku menemui Momo sahabatku dan Stevan. Orang yang pernah aku
beri janji tetapi belum aku tepati. Dan kak Billy yang sepertinya begitu
khawatir terlihat dari raut wajahnya.
Mama menggenggam tanganku erat, ia mengeluarkan air mata
begitu derasnya.
“Karen.. jika kamu mau pergi, mama ikhlas sayang.” Kata mama.
“iya Karen, kakak juga ikhlas. Sebelumnya kakak mau minta
maaf sama kamu, selama ini kakak selalu jahat sama kamu,dek.” Ucap kakak. Aku
mengangguk dan tersenyum.
“ka..ka..k a...ku p..pe..n m..m..uk ka..k” aku kesusahan
untuk mengucapkan kata-kata.
“kamu pengen peluk kakak?” mama memperjelas. Aku mengangguk
sambil tersenyum.
Kak Billy langsung memelukku dengan erat-erat. Seakan-akan
ia akan sangat kehilanganku.
“kakak sayang sama kamu,dek. Sayang banget...” kakak
menangis didekapanku. Aku juga tak kuasa menahan tangis.
Momo langsung mendekapku, menangis terisak.
“gue rela kalo lo ninggalin gue, Ren. Gue gak akan pernah
ngelupain apapun yang pernah kita lakuin bersama-sama. Gue sayang banget sama
lo. Gue gak akan pernah nyesel sahabatan sama lo, karena lo itu adalah sahabat
terbaik gue.” Momo semakin mendekap tubuhku yang sebenarnya sakit sekali.
Aku tersenyum ke arah Stevan.
“s..van.a..u...mi.. ta ma..p u..dah ja...ji...” aku sudah
tidak kuasa untuk meneruskannya sehingga Stevan segera meletakkan telunjuknya
ke mulutku untuk menyudahi.
“aku ngerti kok, Ren. Gapapa.. ini semua takdir dari yang
diatas. Gak perlu disesali karena semua udah terjadi. Gue ikhlas lo pergi. Gue
seneng bisa habisin hari-hari sama lo, karena lo juga gue bisa berubah. Gue gak
akan pernah ngelupain lo sampai kapanpun lo tetep disini, dihati gue.” Ucap
Stevan dengan mata berkaca-kaca dan memerah seperti menahan tangis.
Aku menangis tersendu, sekali lagi aku ingin melihat mama
dan kakakku yang menangis disebelah kananku.
“Ka..en pe..gi.. da..” aku berpamitan kepada mereka.
Matakupun terpejam.
Saat aku membuka mataku, aku sudah bersama papa tinggal di
rumah putih itu.
Semua menangis mengiringi kepergianku.
Mama... terimakasih atas waktu, tenaga dan semuanya yang
telah mama luangin untuk aku, mungkin aku pernah bandel, nyusahin, dan buat
mama kesel. Aku sayang mama.
Kakak.. aku seneng disaat terakhir hidupku ditemani sama
kakak. Itu yang aku impikan dari dulu.. tapi bukan masalah bagiku, Tuhan telah
merencanakan semuanya. J
Momo.. kamu sahabat terbaik aku.. makasih untuk 2 tahun
bersama, aku ngerasa nyaman walaupun kita kenal saat di bangku SMA. Jangan
lupain kenanganku.
Stevan.. sebenarnya aku juga suka sama kamu, tapi aku pengen
liat kamu sukses dulu dan benar-benar berubah. Aku udah melihat perubahan itu,
tetapi Tuhan berkehendak lain. Terimakasih telah menempatkan aku dihatimu.
Semoga kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku.
Dunia ini indah kawan, jangan kamu hanya menunggu sesuatu
yang belum pasti. Karena tak ada yang abadi didunia ini, kita tidak tahu kapan
kita akan dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.